Wahyu Saidi: Perjalananku Jadi si Tukang Bakmi - Bab 1 - BERANI BERSAING


Saya Dr. Ir. H. Wahyu Saidi, MSc, tukang bakmi. Pebisnis yang sehari-harinya bergelut mengelola rumah makan dengan makanan utama bakmi. Gelar H. (haji) perlu saya cantumkan karena umumnya pebisnis bakmi (apalagi yang besar) bukan para haji-haji. Jadi haji adalah diferensiasi saya. Kalau anda mau makan bakmi yang dibuat oleh haji, makanlah bakmi Tebet atau Bakmi Langgara.
Dr. Ir. Dan MSc. Rasanya perlu juga dicantumkan, sebab saya sudah meraih semuanya dengan bersusah payah (ketiganya berijazah dari universitas negeri, artinya sah dan halal). Rasanya juga tidak adil kalau dilarang wong pejabat tinggi negara banyak yang memakai, masa tukang bakmi tidak boleh. Dan lagi rasanya gagah juga jadi tukang bakmi yang bergelar doktor (atau doktor yang mampu menjadi tukang bakmi). Jangan-jangan yang seperti ini masih satu-satunya di republik ini. Bukankah hal seperti ini menurut pakar pemasaran Jack Trout memiliki nilai jual tersendiri.
Saya bukanlah jenis pelaku bisnis yang bisa dirunut secara genealogis. Saya berdarah Palembang dan kalau dirunut tidak ada yang mewarisi darah bisnis kepada saya secara langsung. Kedua orang tua saya, kakek, juga mertua semuanya pegawai negeri.
Bakmi Langgara dan Bakmi Tebet serta beberapa rumah makan lain yang saya tekuni mampu berkembang menjadi 85 gerai dalam waktu 3 tahun. Sebagian besar gerai tersebut membukukan keuntungan yang berarti. Ada yang dapat mengembalikan investasi hanya dalam waktu 4 bulan walaupun sebagian besar investasinya kembali dalam jangka waktu 12 sampai 18 bulan. Tetapi sekitar 5 % masih berusaha keras agar investasinya dapat kembali.
Saya lahir dan tumbuh sampai menjelang SD di di Palembang, tetapi SD Xaverius dan SMP Xaverius tamat di Lubuk Linggau (kota kabupaten 400 km dari Palembang), ikut ayah Ir. Saidi Harun yang menjadi Kepala Dinas Pertanian. Teman-teman saya di Lubuk Linggau banyak yang warga keturunan yang orang tuanya pedagang. Tampaknya pertemanan ini, dengan Ayong, Ahu, Aweng, Ahok, Ahin, Aping, Afen dan lainnya adalah titik awal tumbuhnya jiwa entrepreneurship dalam diri saya. Sangat sering kami bermain sambil menunggu toko. Dan saya sering menyaksikan teman saya ini mendapatkan uang jajan setelah melakukan kerja tertentu. Dengan cara ini mereka menjadi sangat menghargai uang.
Seusai menamatkan SMA Xaverius I di Palembang saya diterima Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Sipil. Dorongan terbesar saya ke ITB di sana banyak dilahirkan orang hebat dan bisa menjadi demonstran. Sayangnya begitu saya hadir di ITB, NKK dan BKK diberlakukan. Menjadi demonstran adalah barang haram.
Sesuai pengetahuan saya yang terbatas, ingin saya saat itu ke Jurusan Arsitektur (tapi tidak juga ada alasan yang kuat), kemudian beralih ke Teknik Sipil karena pada tahun 1981, teknik sipil adalah jurusan paling populer bagi mahasiswa tingkat pertama bersama ITB.
ITB rasanya banyak membentuk karakter mahasiswanya, tidak terkecuali saya. Walaupun kegiatan politik mahasiswa sedang dikekang, aktivitas lainnya masih berlangsung baik dengan frekuensi tinggi. Seperti olah raga, diskusi, pers, teater dan sastra. Saya aktif di Karate Kyokushinkai dan ikut mendirikan unit ini di ITB, aktif juga di Perkumpulan Studi Ilmu Kemasyarakatan (PSIK) pernah pula menjadi Ketua Bidang Organisasi Himpunan Mahasiswa Sipil (HMS) ITB. Selama 4 tahun aktif sebagai wartawan di Berkala ITB, tabloid yang merupakan media resmi ITB.
Ketidakmampuan saya bersaing di Jurusan Teknik Sipil ITB (salah satu ukurannya adalah ketika teman-teman mengambil mata kuliah Konstruksi Baja III satu kali lulus, sementara saya tiga kali baru lulus dengan nilai pas-pasan), menjadi alasan utama saya untuk langsung melanjutkan studi Pasca Sarjana di Teknik Industri ITB setelah lulus dari Teknik Sipil ITB.
Usai di S2-ITB saya bekerja di Propinsi Lampung, sampai kemudian menjadi HRD Manajer di PT. Dipasena Citra Darmaja (ketika tahun 1994 adalah perusahaan tambak udang terpadu terbesar di dunia). Pindah ke Jakarta saya menjadi manajer proyek di Drassindo Group, perusahaan investor dan kontraktor yang membangun jalan tol. Sepuluh buah jembatan penyeberangan di ruas tol Pondok Indah sampai Jagorawi adalah hasil kerja sebagai insyinyur sipil.
Saya juga terlibat dalam persiapan pembangunan jalan tol Sejajar-Kalimalang, yang sampai sekarang belum selesai. Kalau anda menyusuri Jalan Kali Malang menuju Bekasi ada 61 pilar jalan tol yang belum jadi, nah salah satu yang terlibat dalam pembangunannya adalah saya .
Tahun 1998-1999, saat krisis moneter melanda bumi pertiwi ini, perusahaan saya yang berada di dalam inner circle kekuasaan adalah salah satu mati suri. Saya pun job-less Dalam kondisi ini tidak banyak pilihan lapangan kerja yang tersedia. Memilih menjadi pebisnis, menyusuri lorong yang penuh dengan ketidakpastian dan peluang adalah salah satu pilihan. Saya pilih dunia bisnis karena tidak ingin menyerah dan saya berani bersaing.
Diukur dari skala bisnis dan keuntungan yang didapat, saya bukan pebisnis besar, bukan pula pebisnis sukses. Tetapi beralih dari seorang profesional dengan gaji yang memadai menjadi seorang tukang bakmi,yang kemudian bisa mengembangkan usahanya dengan baik seharusnya merupakan pengalaman yang menarik. Bukan saja dari sisi fisik, tetapi juga dari sisi spiritual, mental dan emosional.
Saya berbahagia dan bersyukur. Dan saya percaya kebahagiaan dan rasa syukur ini akan menjadi lebih lengkap kalau saya dapat berbagi pengalaman dengan menuliskannya. Karena itulah buku ini kemudian ada di tangan anda, semoga ada sebercak manfaat.

Post a Comment

Silakan Anda memberi komentar sebebasnya sepanjang tidak menyangkut masalah SARA dan pornografi serta kekerasan. Harap menggunakan kata-kata yang bijak dan efektif serta bermanfaat.

Lebih baru Lebih lama